Jumat, 25 Juni 2010

permasalahan


Permasalahan belajar sebenarnya memiliki kandungan substansi yang “misterius’. Berbagai macam teori belajar telah ditawarkan para pakar pendidikan, agar prose pembelajaran dapat ditempuh secara efektif dan efisien, dengan implikasi waktu cepat dan hasil optimum.

Namun, sampai saat ini belum ada satupun teori yang dapat menawarkan strategi belajar secara tuntas. Masih banyak persoalan-persoalan belajar yang belum tersentuh oleh teori-teori tersebut.

Kompleksitas persoalan yang terkait dengan belajar inilah penyebab sulitnya menuntaskan strategi belajar. Ada banyak faktor yang mesti dipertimbangkan dalam belajar, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Diantara sekian banyak faktor eksternal terdapat guru yang sangat berpengaruh terhadap siswa. Sukses tidaknya para siswa dalam belajar di sekolah, sebagai penyebab tergantung pada guru. Ketika berada di rumah, para siswa berada dalam tanggung jawab orang tua, tetapi di sekolah tanggung jawab itu diambil oleh guru. Sementara itu, masyarakat menaruh harapan yang besar agar anak-anak mengalami perubahan-perubahan positif-konstruktif akibat mereka berinteraksi dengan guru.

Harapan ini menjadi suatu yang niscaya terutama ketika dikaitkan dengan mutu pendidikan. Pembahasan mutu pendidikan betapapun akan terfokuskan pada input- proses-output. Input terkait dengan masyarakat sebagai “pemasok”sedangkan outuput terakait dengan masyarakat sebagai pengguna. Adapun proses terkait dengan guru sebagai pembimbing. Dataran proses inilah yang paling determinan dalam mewujudkan sitasi pembelajaran di sekolah baik yang membelenggu, atau sebaliknya membebaskan, membangkitkan dan menyadarkan.

Proses Pembelajaran yang Membelenggu
Ada ungkapan yang menarik dari Emille Durkheim. Dia melukiskan dua fungsi pendidikan yang saling bertentangan yaitu pendidikan sebagai pembelenggu dan pendidikan sebagai pembebas individu1. Letak daya tarik dari pernyataan ini terdapat pada fungsi pendidikan sebagai pembelenggu. Selama ini kebanyakan masyarakat hanya memahami fungsi pendidikan sebagai pembebas individu. Ternyata pendidikan bisa berfungsi sebaliknya,s ebagai pembelenggu. Hal ini memberi pemahaman berikutnya bahwa penddikan bisa juga “berbahaya”bagi kemandirian, kreativitas dan kebebasan siswa sebagai individu.

Dalam kaitannya dengan fungsi negatif yakni pendidikan sebagai pembelenggu ini agaknya dapat dilacak dari model-model pembelajaran yang dilaksanakan guru di dalam kelas. Jika kita adakan evaluasi, di kalanga kita sendiri memang terdapat gejala-gejala perilaku guru dalam pembelajaran di kelas yang tidak kondusif mengakibatkan daya kritis siswa, bahkan dalam batas-batas tertentu membaayakan masa depan siswa seperti sikap guru yang sinis terhadap jawaban yang salah.

Dalam suatu kelas tidak jarang guru melempar suatu pertanyaan yang harus dijawab siswa. Ada seorang siswa yang berani menjawab pertanyaan dengan penuh keyakinan dan harapan mendapat simpati guru. Apa yang terjadi justru di luar dugaan dengan jawaban itu teman-temannya di sekitar tertawa sedang guru mengatakan, “tidak, itu salah. Saya heran melihatmu”. Kasus ini menurut Bobbi Deporter and Mike Hernacki, adalah awal terbentuknya citra negatif diri. Sejak saat itu belajar menjadi tugas sangat berat. Keraguan tumbuh dalam dirinya, dan dia mulai menguragi resiko sedikit demi sedikit. Sebab dia merasa malu dan dipermalukan dihadapan banyak anak. Kesan negatif ini terus membayangi dalam perkembangan lantaran komentar itu.

Komentar negatif selama ini seringkali diterima anak bukan saja di sekolah,melainka juga di rumah atau di lingkungan masyarakat. Pada 1982, seorang pakar masalah kepercayaan diri, Jack canfield melaporkan bahwa hasil penelitian dalam sehari setiap anak rata-rata menerima 460 komentar negatif atau kritik dan hanya 75 komentar positif yang bersifat mendukung. Jadi,komentar negatif enam kali lebi banyak dari pada komentar positif. Suasana seperti ini berbahaya bagi masa depan anak, mereka bisa merasa tegang dan terbebani ketika misalnay disuruh belajar. Dinding-dinding kelas dirasakan sebagai dinding-dinding tempat penjaran.

Model pembelajaran berikutnya yang dapat membelenggu dan menindas siswa adalah sebagaimana yang Paulo Freire disebut sebagai pendidikan ”gaya bank”. Model ini menurut pengamatan Freire, menjadi sebuah kegiatan menabung: para murid sebagai celengannya sedangkan guru sebagai penbungnya. Ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan murid hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan. Semakin banyak murid yang meyimpan tabungan, semakin kurang mengembangkan kesadaran kritisnya.

Sesungguhnya, belajar itu merupakan pekerjaan yang cukup berat, yang menuntut skap kritis sistemik (Sistemic Critical Attitude) dan kemampuan intelektual yang hanya dapat diperoleh dengan praktek langsung. Sikap kritis sama sekali tidak dapat dihasilkan melalui pendidikan yang bergaya bank(banking action) ini. Dalam pendidikan model ini, yang dibutuhkan buka pemahaman isi, tetapi sekedar hafal(memorization). Bukan memahami teks, tetapi hanya menghafal dan jika siswa siswa melakukannya berarti siswa telah memenuhi kewajibannya. Padahal hafalan hanya akan menumpuk pengetahuan dalam arti pasif, karena tanpa upaya pengembangan sama sekali sebagai yang menjadi karakternya selama ini.

Selanjutnya pembelajaran model bank ini telah menempatkan guru dan siswa dalam posisi berhadap-hadapan. Guru sebagai subyek dan siswa sebagai obyek, guru yang “menakdirkan” sedangkan siswa yang “ditakdirkan”, guru sebagai peran dan siwa sebagai yang diperankan. Secara ekstrim bahkan dapat dikatakan guru sebagai penindas sedang siswa sebagai tertindas. Freire setidaknya telah mengungkapkan peran yang kontras itu sebagai berikut:
1. Guru mengajar, murid belajar.
2. Guru mengethui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa
3. Guru berfikir, murid dipikirkan
4. Guru bercerita, murid patuh mendengarkan
5. Guru menentukan peraturan, murid diatur
6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujuinya
7. Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melaui perbuatan gurunya.
8. Guru memiliki bahan dan isi pelajaran, murid (tanoa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.
9. Guru mencampur adukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid.
10. Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka.

Pengajaran model demikian ini memposisiskan guru sebagai pihak yang ”menang”sedangkan siswa sebagai pihak yang “kalah”, suatu dikootomi yang mestinya tidak layak terjadi mengingat pengajaran bukan proses perbandingan sehingga ada yang menag dan ada yang kalah. Dengan istilah lain pengajar ini terkadang disebut pengajaran model komando. Seorang komandan dalam militer posisinya selalu diatas, memegang perintah yang harus ditaati.

Pengajaran model gaya komando ini memerankan guru, yang oleh S. Nasution disebut guru yang bertipe dominatif sebagai lawan dari tipe integrative. Pengajaran tersebut mendapat kritik keras karena mematikan semangat demokratisasi dan kreativitas siswa, tidak menghargai siswa dan keagamaannya. Guru merasa memiliki wewenang apa saja yang berkaitan dengan pembelajaran dan tidak boleh diganggu gugat oleh siswa maupun pihak lain, praktis, pengajaran model tersebut hanya menjadikan guru pandai sepihak sedangkan siswa tetap bodoh, pasif, kering ide atau gagasan, stagnan, tertindas dan terbelenggu.

Upaya pembelajaran yang ternyata berbalik membelenggu ini tidak lepas begiitu saja-karena akibat demikian tidak pernah disadari guru dominatif tersebut-selagi belum ada gugatan secara maksimal untuk mewujudkan pembelajaran yang benar-benar demokratis sebagai kebutuhan pendidikan secara mendesak.

Guru, Profesionalitas adalah sebuah keharusan

Guru, Profesionalitas adalah sebuah keharusan

Di zaman yang terus berkembang, yang perkembangannya melaju sedemikian pesat, maka sebagai seorang pendidik (Guru) kita dituntut harus terus memperbaharui pengetahuan kita serta menambah ilmu serta pengalaman yang pada akirnya akan membentuk performa yang dapat memenuhi kebutuhan dalam melaksanakan tugas yang menjadi kewajiban pokok sebagai seorang guru.
Paradigma seorang guru harus dirubah dari mengajar menjadi seorang pendidik yang bukan hanya mentransper ilmu tetapi juga dapat membantu peserta didik menumbuhkan jati dirinya serta mempersiapkan mereka agar dapat eksis ditengah – tengah masyarakat tempat tinggalnya. Penidikan sebagaimana dilansir UNESCO pada tahun 1997 paling tidak memuat empat pilar, yakni :
a. Learning to know ( belajar untuk mengetahui sesuatu)
b. Learnig to do ( belajar untuk melakukan sesuatu)
c. Learning to live together ( belajar hidup bersama orang lain)
d. Learning to be ( belajar adalah proses untuk menjadi sesuatu)
Untuk mencapai semua itu, dibutuhkan tenaga pendidik yang profesioal yang mengerti akan beban tugas yang diembannya.
Pertanyaannya kemudian adalah , Siapa guru professional itu ? dan apa indicator yang menunjukkan bahwa guru sudah professional ?
Untuk menjawan pertanyaan tersebut, pemerintah secara tegas telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor : 74 Tahun 2008 tentang Guru. Khusus pada pasal 52 ayat (1) menjabarkan tugas pokok guru sebagai indicator atas pengakuan profesionalitasnya yang terbagi secara garis besar meliputi :
a. Kegiatan Pokok
b. Tugas Tambahan
Kedua tugas tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :
A. Tatap muka
Tatap muka adalah rangkaian kegiatan secara menyeluruh dari proses pembelajaran yang teridiri dari
No Jenis Kerja Guru TM BTM
1 Merencanakan pembelajaran ?
2 Melaksanakan pembelajaran ?
3 Menilai Hasil Pembelajaran ?* ?**
4 Membimbing dan melatih peserta didik ?*** ?****
5 Melaksanakan Tugas Tambahan ?
Ket :
1. TM (Tatap Muka)
2. BTM (Bukan tatap Muka)
3. * Menilai hasil belajar yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan tatap muka (ulangan harian)
4. ** Menilai hasil belajar yang dilaksanakan dalam waktu tertentu (UTS,Ulum UKK)
5. *** membimbing/melatih peserta didik yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan proses pembelajaran/tatap muka
6. **** membimbing/melatih peserta didik pada kegiatan pengembangan diri
Uraian jenis tugas kerja guru diatas adalah sebagai berikut :
1. Merencanakan Pembelajaran
Guru wajib membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) pada setiap awal semester disesuaikan dengan alokasi waktu dan materi yang diajarkan pada semester tersebut. RPP ini adalah sebagai acuan pelaksanaan pembelajaran dikelas
2. Melaksanakan pembelajaran
Melaksanakan pembelajaran merupakan kegiatan interaksi edukatif antara peserta didik dengan guru yang merupakan kegiatan tatap muka. Kegiatan tatap muka meliputi :
• Penyampaian materi, membimbing, melatih, menilai yang terintegrasi dengan materi pembelajaran
• Tatap muka dapat dilakukan secara langsung atau melalui media seperti video, modul mandiri, kegiatan observasi/eksplorasi
• Kegiatan tatap muka dapat dilaksanakan dikelas/lab/studio/bengkel/ atau diluar ruangan
3. Menilai hasil belajar siswa
Penilaian hasil belajar siswa dilakukan secara menyelur meliputi penilaian hasil dan proses. Bnetuk penilaian bisa dilakukan melalui tes dan non tes
4. Membimbing dan melatih peserta didik
Membimbing atau melatih peserta didik dapat dibedakan menjadi tiga, yakni membimbing dalam proses tatap muka, intrakurikuler dan ekstrakurikuler
Selain itu, sebagai guru professional, guru dituntut untuk mampu memahami dan melaksanakan metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik materi pembelajaran dan peserta didik serta mampu menggunakan media sebagai alat dalam proses pembelajaran